Selasa, 29 November 2005

Seruan Keadaan Bangsaku yang tergadai

Tak ada kata yang mampu kutulis
Benarkah?
Hanya selembar kertas
Yang isinya bak sebuah proposal
Tergeletak di atas mejaku
Ya, di hadapanku!

Setelah berulangkali kubaca
Sekian kali pula kutemukan kalimat ”keadaan bangsaku”
Inilah yang membuatku tak mampu!
Benarkah?

Selembar kertas itu menyeru kepadaku
Untuk menulis sebuah puisi bertemakan,
“keadaan bangsaku”

Ia seakan memaksaku
Mengungkapkan seluruh isi hati rakyat bangsaku yang telah perih menganga oleh keadaan bangsaku, yang perih

Aku semakin bingung…
Hendak menulis keadaan bangsaku yang suram
Atau menulis keadaan bangsaku yang indah

Ahh… tapi, tapi aku rasa tidak.
Bangsaku kini suram dan tak ada lagi bangsaku yang indah
Namun, aku harus menulis…

Haruskan aku menulis….
Keadaan laut bangsaku yang airnya tak lagi berwarna biru

Atau haruskah aku menulis
Ketika seruan-seruan manis terlontar dari bibir mereka Yang seketika itu pula, rakyat bangsaku melontarkan ribuan kalimat, “ya, pilih mereka”.

Atau haruskah aku menulis
Ketika sebuah media memberitakan, bahwa bangsaku kini memimpin klasemen, predikat terkorup.
Atau haruskah aku menutupi semua itu
Ketika tak ada waktu lagi untuk menutupinya
Atau haruskah aku diam saja
Ketika kami generasi muda Indonesia
Telah mewariskan utang kepada anak kami yang belum tentu ada.

Atau, haruskah aku pura-pura tak tahu saja. seperti yang dipraktekkan oleh mereka yang telah berhasil menggadaikan kata “ya” dari rakyat bangsaku.

Karena kami, memang tak berarti lagi.





Makassar, 22 November 2005
Pukul 16 lewat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih untuk kebaikan Anda memperhatikan Saya...

16 atau 17 tahun lalu, belum berkonsep.

Tengah malam lewat 14 menit Sekian menit lalu usai dua video isi musik yang dinyanyikan teman lama Menit-menit sebelumnya ada kilasan di pik...